Sabtu, 18 Mei 2013

GASIFIKASI BATUBARA

A.   Sejarah Penelitian  Proses Gasifikasi

  Indonesia merupakan salah satu  pengekspor batubara besar didunia, Sumatera Selatan khususnya merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia sekitar 39.64%, hal ini bisa terlihat pada gambar 2.1


Gambar.2.1. Provinsi Penghasil Batubara di Indonesia
            Batubara ada yang thermal (steaming) coal dan metalurgi coal. Batubara termal biasanya di haluskan dan dibakarkan dalam boiler untuk menghasilkan listrik dan batubara metalurgi digunakan untuk menghasilkan coke untuk pelelehan besii dan baja. Sayangnya utilitas batubara pada teknologi yang digunakan sekarang ini mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan. Polutan utama meliputi oksida oksida nitrogen dan sulfur, abu dan slag, emisi partikel  dan gas rumah kaca seperti karbondioksida. Oleh karena itu diperlukan penyikapan secara insentif tinggi untuk menurunkan emisi dan mengembangkan efisiensi fuel (bahan bakar) teknologi utilitas batubara.

            Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel gas yang kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang dihasilkan dari karbonisasi coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak tahun 1792. Proses original yang sama dengan coking ini adalah proses yang mengubah non-coking coal yang didemonstrasikan pada tahun 1860. Tetapi pada akhirnya tidak dipakai lagi karena CO merupakan gas beracun lebih beracun dari pada CO2 karena kecepatan CO mengikat hemoglobin lebih cepat dibandingkan dengan CO2. Pada akhir tahun 1880  produksi kimia dari proses gasifikasi didemonstrasikan dalam pembuatan amoniak. Teknologi ini berkembang sangat cepat ke daerah Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.

            System gasifikasi batubara modern digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan kimia seperti hidrogen dan metanol dan untuk menyediakan sistem yang lebih bersih dan efisien. Ada beberapa tipe gasifier modern yang sudah ada yaitu entrained-flow, fluidized-bed dan fixed-bed dan kondisi ketiga sistem itu sangat berdasarkan pada tipe batubara yang digunakan.

            Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh dengan oksidasi sebagian (partial oxidation) coke dengan udara terhumidifikasi. Setelah Carl von Linde mengkomersialkan pemisahan kriogenik dari udara selama tahun 1920-an, proses gasifikasi menghasilkan gas sintesa dan hidrogen  menggunakan oksigen blast, hal ini merupakan tonggak perkembangan proses gasifikasi seperti proses Winkle fluid-bed (1926), Lurgi pressurized gasification (1931), dan Koppers-Totzek entrained-flow (1940-an).

            Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama perang dunia kedua ketika insinyur Jerman menggunakan proses gasifikasi untuk memproduksi bahan bakar sintetik. Teknologi ini diekspor ke Afrika Selatan pada tahun 1950-an yang kemudian memicu berdirinya perusahaan gasifikasi batubara terbesar sampai saat ini yaitu South African Coal Oil and Gas Corporation (Sasol) dan menjadi pusat gasifikasi terbesar di dunia pada akhir tahun 1970-an. Perusahaan ini menggunakan gasifikasi batubara dan sintesis Fischer-Tropsch sebagai dasar dari pembuatan gas sintesis kompleks dan industri petrokimia. 

            Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga mengembangkan proses gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi dan minyak yang banyak pada tahun 1950-an, peran gasifikasi batubara mulai menurun. Menurunnya peran ini bukan hanya disebabkan oleh ketersediaan gas bumi dan minyak yang banyak tetapi juga karena nilai kalor gas bumi dan minyak yang lebih tinggi serta sedikitnya kandungan pengotor bila dibandingkan dengan batubara. 

            Untuk pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrokimia berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-chemical telah lebih dulu eksis.

            Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi sedangkan di pihak lain cadangan batubara masih dalam jumlah yang sangat besar sehingga pengembangan teknologi proses batubara kembali dilirik. Hal ini memicu berbagai teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan batubara seperti gasifikasi dan likuifaksi. Terdapat juga proses hidrogenasi batubara dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai pengganti gas bumi atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena beroperasi pada tekanan yang tinggi menjadikan proses hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan. 

            Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973. Pemerintah Amerika menyediakan dukungan dana untuk konsep penelitian gasifikasi, termasuk penelitian pertama Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC). Pada proses IGCC, batubara digasifikasi dimana produk dari gasifikasi kemudian di purifikasi untuk menghilangkan asam dan partikulat pengotor sebelum diinjeksi ke gas turbin. Panas yang diambil dari exhaust gas turbin dimanfaatkan untuk menghasilkan steam penggerak turbin uap.     Karena pembakaran flue gas berasal dari turbin gas hampir bebas dari asam dan partikulat pengotor, IGCC dianggap sebagai teknologi pemusnah hujan asam. Tetapi yang lebih penting, efisiensi dari IGCC lebih tinggi dari pada sistem konvensional serta secara signifikan pula CO2 yang dihasilkan jauh lebih sedikit. Hal ini membuat IGCC merupakan solusi bagi negara-negara yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca tetapi tidak bisa berganti ke sumber energi lain. Pada awal 1990-an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan Eropa menyediakan dana penelitian untuk menguji kelayakan proses IGCC. Kemudian tahun 2000–an IGCC mulai dikomersialkan. 

Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3 proses gasifikasi yaitu proses Lurgi, Winkler, dan Koppers-Totzek. Proses Lurgi beroperasi pada tekanan tinggi 20–30 atm dengan temperatur 1000oC. Winkler yang menggunakan gasifier tipe fluidized beroperasi pada temperatur 800-900oC dengan tekanan atmosfer, begitu juga dengan proses Koppers-Totzek yang beroperasi pada tekanan atmosfer tetapi menggunakan temperatur yang lebih tinggi lagi sekitar 1500-1800oC tetapi proses Koppers-Totzek hampir tidak menghasilkan produk samping dan yield gas sintesis paling tinggi yaitu 95%. Adapun proses Otto-Rummel yang menggunakan gasifier molten bath yang beroperasi pada temperatur 1400-1700oC dan tekanan atmosferik.

            Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi hampir menyeluruh di seluruh benua. Di benua Afrika terdapat konsentrasi terbesar di dunia terletak di Afrika Selatan (Sasol) dimana lebih dari 40% produksi bahan bakar sintetik dan kimia dari gasifikasi batubara. Ada 3 pabrik Sasol (Sasol I, II, III) yang berlokasi di Seconda dan Sasolburg. Di benua Asia, pabrik terbesar berada di India, China, dan Jepang. Sedangkan di benua Eropa ada 5 proyek besar IGCC beroperasi di Eropa Barat dengan konsentrasi terbesar di Itali yang memiliki 3 proyek terbesar yaitu Priolo (Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia Utara). Sedangkan 2 proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan Buggenum (Belanda). Di benua Amerika Utara kebanyakan di Kingsport, Tennessee dan North Dakota.

            Di Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sistem bifuel yaitu campuran gas batubara dan solar. Pilot plant ini dibangun atas kerjasama antara Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas Indonesia. Bila pilot plant ini berhasil maka dapat mengurangi penggunaan BBM (solar) oleh PLTD milik PT PLN sehingga dapat menekan biaya produksi listrik sekaligus mengurangi beban subsidi pemerintah. Disamping itu juga akan meningkatkan nilai tambah batubara, menambah devisa negara dan membuka lapangan kerja.

            Proses–proses gasifikasi diatas, rata-rata menggunakan temperatur dan atau tekanan tinggi sehingga memerlukan kebutuhan energi panas yang sangat besar pula. Sehingga perkembangan penelitian dalam bidang gasifikasi masih terus dilakukan untuk menurunkan temperatur reaksi dan hasil gasifikasi yang lebih baik lagi. 

Penelitian terdahulu walaupun bisa mencapai yield yang tinggi tetapi masih membutuhkan temperatur yang tinggi. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi penelitian selanjutnya. Untuk lebih jelasnya penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel.2.1. Sejarah penelitian proses gasifikasi batubara

No
Peneliti/
Pengembang
Cara Kontak
Kondisi Operasi
Yield (%)
Kelebihan
Kelemahan
1
Lurgi
Fixed bed
T= 1000oC
P = 20-30 atm
<95
-  Yield 
    tinggi
Temperatur dan tekanan tinggi

Winkler
Fluidized bed
T = 800-900oC
P = atmosferik
< 95%
-  Tekanan sangat rendah
-   Yield 
     tinggi
Temperatur masih relatif tinggi
3
Kopper-Totzek
Entrained Phase
T = 1500-1800oC
P = atmosferik
95
-  Yield
    tinggi
-  Tekanan
    rendah
Temperatur masih sangat tinggi
4
Otto-Rummel
Molten bath
T = 1400-1700oC
P = atmosferik
< 95
-  Yield
    tinggi
-   Tekanan
    rendah
Temperatur masih sangat tinggi


B. TEKNOLOGI PEMBUATAN SYNGAS
            Pembuatan syngas adalah hal yang sangat penting dan paling mahal diantara 3 seksi proses ( pembuatan syngas, sintesa fischer tropsch, dan produk work-up), dan membutuhkan energi yang paling besar dalam pabrik.
Teknologi yang digunakan untuk pembuatan syngas secara garis besar ada 2, yaitu :
    1. Reforming
    2. Gasifikasi
Gasifikasi digunakan untuk proses konversi solid/heavy liquid feedstock menjadi syngas. Sedangkan reforming digunakan untuk konversi gas/light liquid feedstock menjadi syngas. Teknologi lain yang khusus untuk temperature tinggi oksidasi parsial, digunakan untuk range feed yang luas dan dilanjutkan dengan gasifikasi melibatkan metana reforming.

1.    REFORMING
Spesifikasi feed gas yang biasa digunakan dapat dilihat pada table 2.2 :
Tabel 2.2. spesifikasi feed gas untuk reforming

Feed gas
Gas alam
Gas associated
Lean
Heavy
Lean
Heavy
N2, % vol
CO2, % vol
CH4, %vol
C2H6, % vol
C3++, % vol
Max. Total S, ppm vol
Hydrogen sulfide, ppm vol
COS, ppm vol
Merkaptan, ppm vol
3.97
-
95.7
0.33
-
20
4
2
14
3.66
-
87.86
5.26
3.22
20
4
2
14
0.83
1.61
89.64
7.24
0.65
4
3
n.a
1
0.79
1.5
84.84
6.64
6.23
4
3
n.a
1

Steam Reforming
Steam reforming  hidrokarbon proses yang didominasi pada pabrik hydrogen, khususnya untuk pengilangan. Range feedstock yang biasa digunakan adalah gas alam dan LPG menjadi bahan bakar liquid termasuk  naphta dan kerosene. Steam reforming biasanya dikombinasikan dengan oksigen atau air-blown partial oxidation processes untuk produksi syngas untuk ammonia, methanol dan produk petrokimia.

Steam reforming tidak dianjurkan untuk produksi syngas untuk skala besar. Selain karena input panas yang besar dan rasio produksi gas H2/CO diatas nilai yang diharapkan sekitar 2.

2. GASIFIKASI
          Gasifikasi melibatkan reaksi sumber karbon, kemungkinan bergabung dengan hidrogen, dengan sumber hidrogen (biasanya steam) dan/atau oksigen untuk yield gas yang terdiri dari hidrogen, karbonmonoksida, karbondioksida, dan metana. Proporsi komponen gas ini bergantung pada rasio reaktan yang digunakan dan kondisi reaksi.
           
        Feedstock diubah menjadi bentuk gas, substan yang tidak diinginkan seperti senyawa sulfur dan partikel solid di entrained dapat dipisahkan dari gas dengan beberapa teknik. Syngas bersih  (khususnya campuran karbonmonoksida dan hidrogen) dapat diubah menjadi bahan bakar gas, bahan bakar likuid, bahan kimia, electric power (daya listrik) atau kombinasinya.

Teknologi gasifikasi dapat dikelompokkan berdasarkan konfigurasi aliran dari unit gasifiernya. Konfigurasi yaitu :
1.    Fixed bed
2.    Fluidized bed
3.    Entrained flow
4.    Molten bath

1. Fixe bed
Pada konfigurasi ini, batubara diumpankan  dari atas kemudian perlahan-lahan turun kebawah dan dipanaskan oleh gas panas dari arah bawah. Batubara melewati zona karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona pembakaran pada bagian bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini diilustrasikan pada Gambar 2.2. berikut ini :

Gambar 2.2. Fixed bed gasifier

Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :

 
Gambar 2.3. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier
Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier
Ada 4 zona reaksi yaitu :
1.   Zona devolatilisasi
Pada zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam batubara.
2. Zona Gasifikasi
Pada zona ini uap air yang dialirkan dan CO2 yang terbentuk dari pembakaran sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk gas sintesis yang terdiri dari CO, H2 dan N2.
2.    Zona Pembakaran
Pada zona ini oksigen yang masuk bereaksi dengan sebagian batubara membentuk CO2 dan H2O yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi.
3.     Zona abu
Zona ini adalah tempat penampungan abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi pembakaran maupun reaksi gasifikasi.

2. Fluidized bed
Dalam fluidized bed gasifier, reaktor gas digunakan untuk membuat fluidisasi material batubara. Untuk menghindari sintering dari abu, fluidized bed gasifier dibatasi beroperasi pada temperatur non-slagging. 



Gambar 2.4.  Fluidized bed gasifier
Batubara dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari arah bawah. Oksidan (O2 dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat  maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya atau bersifat komplementer.


d. Entrained flow
Batubara dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent atau bersama-sama dengan agen gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan oksigen, bereaksi pada tekanan atmosfer. Pada entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran kurang dari 0,1 mm diumpankan dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana reaksi gasifikasi terjadi seperti halnya sistem pembakaran bahan bakar berbentuk serbuk.

Residence time  partikel padatan yang singkat dalam sistem fase entrained memerlukan kondisi operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada entrained gasifier baik sekali hanya untuk proses hidrogasifikasi.


Gambar 2.5.  Entrained gasifier

Konfigurasi lainnya adalah molten bath 

4. Molten bath
            Molten bath  mirip dengan sistem fluidized bed dimana reaksi terjadi dalam medium yang tercampur merata dari inersia panas tinggi. Temperatur operasi tergantung pada  tipe bath : untuk slag dan molten metal bath diperlukan temperatur tinggi (1400–1700oC), tetapi temperatur 1000oC dapat digunakan molten salt. Reaktan gas dapat diinjeksi dari atas seperti jet kemudian berpenetrasi kedalam permukaan bath, seperti ditunjukkan pada gambar 2.6, atau dapat diumpankan ke bottom bath


Gambar 2.6. Molten bath  gasifier

Fixed bed gasifier termasuk dalam kategori sistem aliran counter current, fluidized bed dan molten bath gasifier dapat dianggap sebagai reaktor tanki pengaduk kontinyu dan entrained gasifier sebagai sistem aliran co-current.

Aliran counter current  dalam reaktor fixed bed, pemindahan volatile matter yang dihasilkan dari gasifier tanpa melewati zona gasifikasi temperatur tinggi atau zona pembakaran. Karakteristik komposisi  produk gas pada fixed bed gasifier  yaitu adanya uap tar (bila digunakan antrasit atau devolatilisasi char/coke sebagai bahan baku) dan yield metana yang tinggi. Residence time yang paling lama terdapat pada fixed bed gasifier dimana kecepatan gas dibatasi untuk menghindari semburan serbuk batubara ke dalam aliran produk gas. Sedangkan residence time terpendek terdapat dalam entrained gasifier.
             
        Perbedaan residence time padatan diantara tipe gasifier merupakan hal substansial. Pada fixed bed  residence time padatan biasanya beberapa jam. Sedangkan pada fluidized bed atau molten bath pada umumnya sekitar 1 jam. Pada fluidized bed, char yang tidak terkonversi dikumpulkan dan diumpankan ke gasifier lainnya atau ke pembakar. Sedangkan pada entrained kecuali untuk hidrogasifikasi, umumnya beroperasi pada temperatur slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Residence time yang pendek pada entrained membuat kontrol pada kondisi operasi gasifikasi lebih sulit dan perlu adanya  kekonsistensian umpan batubara, merupakan hal yang harus diperhatikan.


 C. REAKSI GASIFIKASI
            Prinsip reaksi kimia pada proses gasifikasi sebagai berikut :

1.    Reaksi pembakaran
     C     +   ½ O2              >>            CO                  ∆H = -111 mJ/kmol              (1)
            Reaksi ini eksotermis. Selanjutnya reaksi ini tidak berhenti sampai menjadi CO, tetapi setiap oksigen bebas bereaksi dengan cepat dengan CO dalam fase gas untuk menjadi CO2, seperti reaksi di bawah ini :
    CO  +   ½ O2              >>            CO2                 ∆H = -283 KJ/mol                 (2)      
    H2   +    ½ O2             >>           H2O                 ∆H = -242 mJ/kmol              (3)

2. Reaksi Boudouard
    C    +    CO2              >>             2 CO               ∆H = +159.7 kJ/mol             (4)
Reaksi endotermis pada reaksi boudouard yang sangat lambat.

3. Reaksi water gas
    Untuk mengendalikan temperatur yang tinggi yang diperoleh dari reaksi C – O2 dan untuk meningkatkan nilai kalor gas sintesis, melalui penambahan hidrogen dimana hidrogen juga sebagai produk utama biasanya ditambahkan steam sebagai reaktan. Reaksi ini merupakan reaksi endotermis dimana mengandalkan panas yang dibebaskan dari reaksi C-O2 untuk kebutuhan energi. Selanjutnya, laju reaksi C + H2O sangat lambat dibandingkan C-O2. Reaksi water gas dapat dilihat pada reaksi dibawah ini :
    C    +    H2O             >>             CO   +   H2     ∆H = +118.9 kJ/mol             (5)

4. Reaksi Metanasi
    Pada beberapa proses gasifikasi terutama untuk gasifikasi yang menginginkan metana sebagai produk utama untuk proses SNG.
     C    +    2 H2              >>             CH4                 ∆H = -75 kJ/mol

      Reaksi dengan oksigen selalu saja eksotermis, sedangkan reaksi dengan steam atau CO2 selalu saja endotermis. Dalam gasifier dimana oksigen dan steam digunakan untuk mengontrol temperatur, dimana peran steam yaitu sebagai moderator. Pada umumnya steam yang digunakan adalah superheated dengan range temperatur 300 – 400oC. Pada beberapa metoda gasifikasi memang ditambahkan nitrogen atau CO2 ke dalam oksigen untuk memindahkan panas secara tidak langsung dari reaktor gasifikasi.

       Selain kandungan C, H, dan O, batubara masih mengandung komponen lainnya yaitu sulfur yang terkonversi menjadi H2S dan COS, serta komponen nitrogen yang terkonversi menjadi elemen nitrogen, NH3, dan HCN.  

Pada review sistematik Bürkle (1998) telah membuat plot kereaktifan char yang berbeda dari bermacam-macam biomassa, batubara, dan material lainnya seperti pada gambar 2.7.
Gambar 2.7. Kereaktifan beberapa material sebagai fungsi temperatur
      
      Material carbon black hampir mendekati carbon murni dalam bentuk partikel koloid yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna atau termal dekomposisi dari gas dan atau likuid hidrokarbon dibawah kondisi tertentu. Penampilan secara fisiknya hitam, halus, atau berupa pelet. Digunakan untuk industri ban, karet dan plastik, tinta printer dan pelapisan yang berhubungan dengan luas spesifik permukaan, ukuran partikel, dan struktur, konduktivitas dan warna.
       Black karbon dibuat dengan dua cara yaitu furnace black dan thermal black. Proses furnace black menggunakan minyak aromatik berat sebagai feedstok. Sedangkan proses termal black menggunakan gas alam yang terdiri dari metana atau minyak aromatik berat sebagai feedstok. 

Sifat fisika dan sifat kimia carbon black
Carbon black secara kimia dan fisika jelas dari soot dan black karbon, yang terdiri dari 97% keatas kandungan carbonnya yang tersusun seperti aciniform (seperti cluster anggur) partikulat.




Gambar.2.8. Representasi black karbon dalam bentuk hexana soot segment


DISAIN GASIFIER
Ada 4 parameter disain yang utama, yaitu :
1.    Temperatur
Gasifier dapat dibagi dalam 3 kategori tergantung pada keadaan fisik abu dalam reaktor gasifikasi.

Abu kering
Untuk kebanyakan batubara, operasi diatas sekitar 1000oC menghasilkan abu kering tanpa sintering atau slagging.

Abu agglomerasi
    Operasi juga dimungkinkan terjadi pada temperatur dimana partikel abu menjadi lengket, membentuk agglomerat. Reaktor harus didisain sedemikian rupa sehingga abu tadi dikeluarkan dan dikontrol supaya kondisi operasi steady state. Pada kebanyakan batubara, kondisi abu agglomerasi terjadi pada range temperatur 1000–1200oC tergantung pada komposisi abu.

Slagging
   Operasi diatas 1200oC menyebabkan abu membentuk molten slag. Pada operasi ini diperlukan pemilihan material non-korosif dan erosif. Temperatur gasifikasi dipengaruhi oleh komposisi produk gas karena temperatur berpengaruh pada kesetimbangan dan kinetika reaksi gasifikasi. Bahan baku gas dari gasifier yang beroperasi dibawah kondisi slagging pada umumnya memiliki konsentrasi  CO2 dan uap air relatif rendah sedangkan konsentrasi CO dan H2 relatif tinggi. Bila uap air digunakan sebagai agen gasifikasi dibawah kondisi non-slagging, maka diperlukan ekses (dalam beberapa kasus sekitar 400%) dibanding dengan jumlah batubara. Jumlah ini disebabkan oleh kinetika dan kesetimbangan yang tidak diinginkan untuk dekomposisi uap air pada temperatur rendah. Penggunaan uap air berlebih ini menyebabkan berkurangnya efisiensi. Pengunaan temperatur tinggi memerlukan oksigen lebih banyak lagi dan sebagai konsekuensinya bertambah pula kebutuhan energi untuk pemisahan udara. 

     Untuk reaksi pada temperatur slagging, kinetika reaksi terjadi dengan cepat dan perbedaan kereaktifan dari batubara tidak terlalu penting dibanding operasi pada temperatur non-slagging. Tipe abu dan kandungan dari batubara juga harus diperhatikan. Abu dengan temperatur fusi tinggi pada umumnya tidak dinginkan pada operasi slagging. Pada beberapa kasus, biasanya ditambahkan fluxing agent seperti batu kapur untuk menghindari slag. Dibawah kondisi non-slaging, batubara yang lebih aktif (seperti lignit) pada umunya lebih mudah untuk digasifikasi. Untuk gasifikasi dengan memakai uap air biasanya beroperasi pada temperatur setinggi mungkin untuk meningkatkan kinetika reaksi dan kesetimbangan yield. Walaupun gasifikasi pada temperatur tinggi memiliki sejumlah kelebihan (sebagai contohnya, laju reaksi yang tinggi dan kemampuan untuk menggasifikasi batubara yang tidak bereaksi), teknologi yang digunakan biasanya lebih rumit dari pada temperatur rendah.

2. Tekanan
            Proses gasifikasi dapat dioperasikan baik pada tekanan atmosfer maupun kenaikan tekanan. Kesetimbangan menunjukkan bahwa kenaikan tekanan cenderung memperlambat dekomposisi CO2 dan uap air serta pembentukan CO dan H2. Pada kenyataannya, efek terhadap komposisi produk gas adalah kecil pada tekanan diatas 30 bar, dibandingkan dengan faktor lain seperti temperatur reaksi.

            Pada tekanan yang lebih tinggi akan terjadi pembentukan metana dengan reaksi hidrogasifikasi dengan tekanan minimal 80 bar. Operasi pada kenaikan tekanan menaikkan laju reaksi secara keseluruhan tetapi perubahan pada umumnya sedikit signifikan terhadap tekanan karena tidak semua reaksi kimia bisa dikontrol (sebagai contohnya, reaksi pembakaran dan dekomposisi termal biasanya dikontrol oleh laju difusi). Kenaikan per unit volum dari gasifier tidak terlalu signifikan terhadap tekanan, hukum akar kuadrat hanya ditujukan pada sejumlah gasifier. Pada kenyataannya, residence time gas-solid pada disain gasifier bertekanan bisa lebih lama dibanding gasifier tekanan atmosfer supaya menaikkan derajat konversi.

            Proses gasifikasi dengan kenaikan tekanan merupakan teknologi lebih rumit daripada gasifikasi tekanan atmosfer untuk beberapa alasan. Alasan yang paling banyak yaitu batubara yang diumpankan kedalam gasifier harus melawan gradien tekanan. Gasifier pada proses kenaikan tekanan menyerupai vesel bertekanan  pada pressurised fluidized bed combustor.


3. Reaktan Gas
            Reaktan utama sebagai oksidan pada proses gasifikasi adalah oksigen, uap air, dan hidrogen. Penggunaan reaktan gas bisa sendiri atau pun kombinasi dari ketiga reaktan tersebut.

Oksigen/Uap air
Gasifier yang menggunakan oksigen dan uap air, panas diabsorb oleh reaksi endotermis air-gas. Panas yang terjadi dikarenakan oleh reaksi pembakaran antara oksigen dan batubara yang merupakan heat balance secara keseluruhan dalam gasifier.

Udara/Uap air
Bila digunakan udara yang mengandung nitrogen, bukan oksigen murni maka uap air yang digunakan lebih sedikit karena lebih banyak lagi panas sensibel yang dibutuhkan untuk membuat udara mencapai temperatur reaksi. Heat balance menunjukkan bahwa proses yang menggunakan udara dan uap air hanya mungkin terjadi pada tempearatur non-slagging.

Udara
Pada temperatur slaging proses yang hanya memakai udara sebagai reaktan oksidan, panas dilepaskan oleh reaksi pembakaran diimbangi dengan panas sensibel yang dibutukan agar udara mencapai temperatur reaksi. Uap air diperlukan dalam jumlah yang sedikit untuk mengontrol keseimbangan panas bila udara dipanaskan terlebih dahulu. Untuk kondisi dibawah non-slagging uadara dapat digunakan sebagai oksidan tunggal bila panas dipindahkan dari proses dengan kata lain reaksi endotermis uap air-karbon.

Hidrogen
Bila proses gasifikasi menggunakan hidrogen maka produk gas yang dihasilkan  berupa metana sebagai produk utama. Proses ini dinamakan hidrogasifikasi. Hidrogen biasanya didapat dari gasifier oksigen/uap air konvensional.
           
Pemilihan reaktan disesuaikan dengan sifat atau spesifikasi dari produk gas yang kita inginkan. Bila kita menginginkan gas dengan nilai kalor rendah sebagai produk akhir maka pada proses gasifikasi kita menggunakan udara dan uap air atau hanya menggunakan udara. Untuk menghasilkan gas dengan nilai kalor medium maka penggunaaan nitrogen harus dihindari dan menggunakan oksigen-uap air, atau hanya menggunakan uap air. Tanpa adanya nitrogen membuat gas bernilai kalor medium cocok untuk dikonversi lanjut menjadi bahan bakar liquid dan kimia, hidrogen, atau SNG (Sinthetic Natural Gas). Sebagai alternatif, SNG dapat diproduksi secara langsung dengan proses hidrogasifikasi dengan menggunakan hidrogen sebagai reaktan. Proses yang hanya menggunakan  uap air (dengan suplai panas secara tidak langsung) diharapkan dapat lebih efisien daripada proses yang menggunakan oksigen-uap air karena tidak ada energi yang dibutuhkan untuk memisahkan oksigen dari udara. Untuk alasan serupa, proses gasifikasi air-blown dapat diharapkan lebih efisien dari proses oxygen-blown. Pada kasus ini, keuntungan yang diperoleh dapat menjadi hilang bila kandungan panas sensibel pada produk gas juga lebih meningkat.
           
Untuk produksi SNG secara langsung dengan menggunakan proses hidrogasifier dianggap potensial lebih efisien daripada produksi SNG dari sintesis gas yang kemudian baru dikonversi menjadi SNG. Konversi ini merupakan reaksi yang sangat eksotermis terjadi pada temperatur 350oC. Pengaruh utama dari pemilihan reaktan gas yaitu adanya perbandingan antara pengunaan udara (air-blown)  dan penggunaan oksigen (oxygen blown). Air blow gasifier biasanya beroperasi 1/3 sampai1/2 dari sistem oxygen blown. Hidrogasifikasi biasanya beroperasi pada tekanan tinggi (80 – 200 bar).

Disain gasifier biasanya mempertimbangkan reaksi-reaksi endotermis-eksotermis yang terjadi selama proses, sehingga tercipta suatu kesetimbangan panas. Bila menggunakan sistem uap-air-oksigen dan uap air-udara, panas diserap  oleh reaksi air-gas. Pada gasifikasi yang hanya menggunakan uap air sebagai pengoksidan, panas diserap oleh reaksi yang disuplai oleh sumber panas lainya. Ada tiga pilihan yaitu :
 
  1. perpindahan panas tidak langsung
  2. paralel reaksi kimia eksotermis yang tidak melibatkan oksigen
  3. pembawa panas
Hanya pembawa panas  yang layak pada operasi temperatur slagging, dan alira panas dari luar yang dibutuhkan agar dihasilkan keseimbangan panas dalam gasifier yang hanya menggunakan udara pada temperatur non-slagging.

4. Metode Kontak
Metode kontak antara umpan (batubara) dan reaktan gas dalam gasifier dapat dibedakan menjadi empat yaitu fixed bed, fluidized bed, entrained flow, dan molten bath.
          
Gasifikasi batubara merupakan proses yang mengkonversi batubara dari bentuk padatan menjadi bahan bakar gas melalui oksidasi sebagian (partial oxidation). Gas yang dihasilkan merupakan gas sintesis (syngas) berupa CO dan H2. Karena produk yang dihasilkan dalam bentuk gas, maka kandungan sulfur dan abu yang merupakan produk yang tidak diinginkan dihilangkan dari gas sintesis sehingga gas yang dihasilkan bersih.
           
Kontras dengan proses pembakaran (combustion) yang memerlukan udara berlebih, proses gasifikasi terjadi pembakaran sebagian dari batubara dengan suplai oksigen dikontrol (pada umumnya 20-70% dari jumlah O2 teoritis yang dibutuhkan untuk pembakaran sempurna). Dalam bentuk yang paling sederhana, reaksi stoikiometrinya sebagai berikut :
      C         +          ½ O2  gasifikasi               >>                  CO
      C         +          H2O  gasifikasi                >>                  CO      +          H2
           
Pada gasifikasi panas yang dihasilkan dari pembakaran  digunakan untuk devolatilisasi dan menguraikan kandungan zat terbang menjadi hidrokarbon gas. Aliran gas yang dihasilkan merupakan campuran dari inert flue gas dan hidrokarbon. Produk gas ini atau gas sintesis memiliki nilai kalor (calorific value). Aliran gas biasanya mengandung sejumlah besar nitrogen yang dapat mencapai lebih dari 60%. Hal ini dikarenakan pada proses menggunakan udara.
            
Beberapa proses menggunakan oksigen atau uap air untuk menyediakan kebutuhan oksigen. Sistem ini menghasilkan aliran gas yang mengandung calorific value yang lebih tinggi. Tetapi hal ini membutuhkan  tambahan biaya dan keselamatan yang lebih ketat.

3 komentar:

Lazuardi berbagi mengatakan...

makasih bro infonya

Unknown mengatakan...

Makasih gan,,, bermanfaat sekali

Unknown mengatakan...

kurang bermanfaat, sumber gak dicantumkan

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes